Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban setiap daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-udangan yang berlaku.. Penerapan otonomi daerah di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, mulai dari era kolonial Belanda hingga kini.. Adapun hakikat otonomi daerah yang berlaku di Indonesia pada masa kini, tertuang dalam Undang-Undang BukuPolisi Zaman Hindia Belanda karya Marieke Bloembergen. Kepolisian modern Hindia Belanda, yang dibentuk antara 1897-1920, lahir dari ketakutan sekaligus kepedulian penguasa Eropa terhadap rakyat negeri jaja menjadikanCimahi memiliki garnisun terbesar se Hindia Belanda pada saat itu. Kota cimahi juga memiliki beberapa bangunan terkenal dari masa kolonial yang memiliki arsitektur "peralihan" bahkan bangunan-bangunan tersebut masih eksis hingga saat ini dan beberapa telah beralih fungsi. Namundalam pelaksannanya, nyatanya polisi Indonesia (Polri) di masa selanjutnya mewarisi sifat-sifat dari polisi kolonial Hindia Belanda. Di medio tahun 1960 - 1980an, Polri merupakan lembaga berpengaruh setelah Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Majalah Detektif, 1971). Terlebih setelah tahun 1966, dimana Polri dan TNI bergabung menjadi Risetyang didanai pemerintah Belanda, "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950", sejak peluncurannya diselimuti pro dan kontra, tak terkecuali tema-tema yang Vay Tiền Online Chuyển Khoản Ngay. - Hampir seabad silam, pada 1918, C. van Rossen diminta datang ke Betawi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Paul van Limburg Stirum. Orang nomor satu di Hindia Belanda itu, menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan 2011, menilai van Rossen sebagai tokoh yang sangat bersih. Kala itu, Hindia Belanda belum memiliki kepolisian yang tertata sistemnya. Termasuk sistem keuangannya. Gubernur Jenderal tentu butuh orang jujur, van Rossen dianggapnya cocok. Di Betawi, van Rossen menjadi Kepala Polisi Lapangan Betawi, dengan pangkat Komisaris Besar. Setidaknya, ia pernah terlihat menjadi perwira yang punya inisiatif mengenai seragam kepolisian. Pada 1921, ia memberi masukan cukup penting mengenai bagaimana seharusnya seragam polisi. Sebelumnya, seragam polisi lapangan di Jawa hanya mementingkan penampilan, tapi kurang memperhatikan kepraktisan. “Agar unit polisi lapangan diberikan seragam yang sesuai kuat, tidak terlalu panas, warna yang tidak mudah kotor, mudah dicuci dan memudahkan pergerakan di lapangan,” ujar van Rossen seperti dikutip Bloembergen. Belakangan, van Rossen diangkat menjadi kepala bagian pembukuan kepolisian. Akhir tahun 1922, van Rossen sudah punya sebuah mobil merah bermerek Hudson, rumah mewah, dan vila di Negeri Belanda. Diam-diam Asisten Residen Betawi, van Helsdingen mulai mengawasinya sejak November 1922. Ketika itu, polisi di bawah koordinasi departemen dalam negeri dan tak sentralistis seperti di masa-masa setelahnya. Soal keuangan pun masih terkait pemerintah keresidenan. Asisten Residen ikut mencermati dan mengawasi kepolisian. Beberapa polisi didapatinya bermasalah. Ada agen kepala bernama Muller yang melaporkan atasannya, kepala reserse unit candu bernama WJ Kelder, telah terlibat penyelundupan candu. Asisten Residen tak temukan bukti. Namun belakangan Kelder kena hukum karena menyelewengkan pembukuan. Kelder juga ternyata kecanduan morfin. Seorang kepala reserse bernama Tjoa Bok Seng juga ditangkap karena bermasalah. Kawasan judi dan pelacuran di Senen juga menjadi "sapi perah" polisi. Ada 15 tempat pelacuran dan judi yang tiap bulan menyetor uang sebesar gulden ke polisi di Senen. Asisten Residen mencurigai komisaris van Rossen menjadi kepala polisi yang membiarkan penyelundupan candu merebak di Betawi. Namun, van Helsdingen tak punya bukti kuat untuk masalah tersebut. Kejahatan van Rossen yang berhasil dibongkarnya adalah menggelapkan uang 1 juta gulden. Selama bertahun-tahun ia memperkaya diri dengan memainkan pos anggaran kepolisian. Pada 8 September 1923, van Rossen akhirnya ditahan dan dipecat. Tentu saja korupsi duit sejuta gulden sang komisaris van Rossen jadi berita gede di koran. Baik koran berbahasa Belanda maupun bahasa Melayu pasar. Koran Sin Po 13/09/1923 memberitakan bahwa korupsi di kalangan kepolisian Betawi sudah lama terendus. Sebelumnya, jika ada pemeriksaan sebagai komisaris, van Rossen selalu menghalangi. Sin Po edisi 29 September 1923 memberitakan pemanggilan van Rossen untuk diperiksa di Raad van Justitie alias kantor Pengadilan Tinggi. Bekas Asisten Residen Meester Cornelis Jatinegara Beck juga diperiksa. Tuduhannya, ia terjerat kasus penggelapan yang sama. Koran Oetoesan Melajoe-Perobahan edisi 24 Oktober memberitakan Asisten Residen Meester Cornelis itu akhirnya diberhentikan. Menurut catatan Bloembergen, pada 10 September 1923, Asisten Residen ditugaskan untuk membuka kasus korupsi van Rossen hingga tuntas. Penyelidikan kemudian menyeret komisaris besar lainnya Kepala Sekolah Polisi di Bogor bernama Misset dan Kepala depo pelatihan H de Waard. Pembukuan mereka pun mengandung penilepan duit, yang zaman sekarang dikenal sebagai korupsi. Koran Het Vaderland yang terbit di Den Haag, yang punya koresponden di Betawi, bahkan mengadakan investigasi. “Disebutkan maraknya korupsi, penerimaan uang suap dari pusat perjudian dan pelacuran yang dikelola orang-orang Tionghoa, pendapatan ilegal dari distribusi beras, perwira-perwira yang tidak becus, pengelolaan keuangan yang kacau-balau, salah kelola dalam proses penerimaan dan penempatan anggota kepolisian lapangan di Betawi. Itu semua terjadi karena kuatnya sistem saling melindungi dalam kepolisian umum di gewest daerah Betawi van Rossen, De Waard, dan Misset, semuanya berasal dari korps inspektur polisi Den Haag,” tulis Bloembergen. Hindia Belanda, yang kala itu udik dan belum semapan Eropa, tampaknya menjadi daerah basah bagi tritunggal van Rossen, De Waard, dan Misset. Mereka melihat peluang penyimpangan yang begitu besar di Hindia. Kepercayaan terhadap perwira polisi di Hindia pun merosot karena ulah van Rossen dan kolega-koleganya. Sepanjang tahun 1924, banyak perwira polisi yang diperkarakan. Bloembergen mencatat, kasus penyalahgunaan pembukuan oleh perwira korup terjadi juga di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Manado, dan Makassar. Perkaranya pada pembukuan unit polisi lapangan, yang kala itu disebut Veld Politie—punya tugas seperti Brigade Mobil Brimob masa sekarang. Sesudah van Rossen lengser, Gubernur Jenderal dan jajarannya dibuat pusing buat cari sosok pengganti koruptor di awal abad 20 itu. Para pembesar ini membicarakan suksesornya pada 2 November 1923 di Istana Gubernur Jenderal. Sekretaris pemerintah kolonial, Welter, yang belakangan menjadi Menteri tanah Jajahan Belanda, juga hadir. Belakangan tercetus ide untuk mengerahkan militer, khususnya Marsose, untuk menggantikan posisi para perwira polisi yang korup dan diberhentikan tadi. Kasak-kusuk akan melibatkan militer ke kepolisian bikin risih orang-orang di kepolisian pada 1923. Surat kabar Oetoesan Melajoe Peroebahan 15/11/1923 memberitakan Politie Bond Perkumpulan anggota Polisi merasa tidak senang dan menyatakan keberatan atas rencana pengangkatan perwira-perwira militer KNIL sebagai kepala Polisi di Betawi. Mereka mengajukan surat keberatan itu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi. Suka tidak suka, perwira militer akhirnya turun tangan. Menurut catatan Marieke Bloembergen, penutupan tempat judi dan pelacuran Senen pun harus melibatkan Kapten Retering dan Letnan Drost dari Marsose—unit polisi militer khusus yang terkenal kejam dalam Perang Aceh. Namun, perkara suap-menyuap ternyata tak hanya terjadi di zaman kolonial. Setelah Indonesia merdeka, penyuapan sering terjadi. Mantan Kapolri legendaris Hoegeng Imam Santoso yang dikenal jujur itu, dalam Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan 1993, pernah bercerita bagaimana ia disambut oleh pengusaha yang memberinya rumah beserta perabotan lengkap dan mobil di Medan pada 1950-an. Hoegeng saat itu memilih untuk mengembalikan pemberian si pengusaha. Ketika itu Medan terkenal dengan penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun Hoegeng tidak bercerita soal keterlibatan polisi. Soal korupsi di kepolisian setelah tahun 2000 tak kalah hebat. Bukan lagi seorang komisaris besar, tapi jenderal polisi juga terlibat kasus korupsi alat simulator ujian SIM. Namanya Djoko Susilo. Ia merugikan negara hingga Rp100 miliar. - Humaniora Reporter Petrik MatanasiPenulis Petrik MatanasiEditor Fahri Salam NilaiJawabanSoal/Petunjuk MARSOSE Korps polisi militer pada masa pemerintahan Hindia Belanda GENDARMERI 1 pasukan polisi militer; 2 korps polisi militer; 3 asrama korps polisi militer PM Polisi Militer MARINYO Polisi militer POMAD POLISI Militer Angkatan Darat SEKAUT Kepala polisi masa penjajahan Belanda WEDANA Pembantu bupati pada masa Hindia Belanda KENPETAI Polisi militer Jepang pd waktu Perang Dunia II PETA Pembela Tanah Air kesatuan militer yang dibentuk Jepang dalam masa pendudukannya di Indonesia ERA Masa ZAMAN Masa KST Korps Speciale Troepen kesatuan pasukan khusus Belanda di masa Revolusi Nasional Indonesia KALA Masa SWAT Special Weapons And Tactics polisi dari Amerika yang menggunakan senjata ringan ala militer MILISI Kewajiban masuk tentara untuk masa tertentu, orang yang menjadi prajurit karena memenuhi wajib militer DEMOBILISAN Anggota tentara yang dikerahkan pd masa perang yang telah dibebaskan dari tugas militer setelah perang selesai KEONARAN Kegemparan; kerusuhan; keributan ~ itu baru dapat diatasi setelah datang polisi yang dibantu oleh pasukan militer DEMOBILISASI Pembubaran tentara yang dikerahkan pd masa perang; pembebasan dari tugas militer thd tentara yang dikerahkan pd masa perang setelah perang selesai; INLANDER Sebutan bagi penduduk asli di kepulauan Nusantara Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pd masa penjajahan Belanda innalillahi wa innailaihiroji... MENGURUNG 1 membubuhkan tanda kurung pd angka dalam hitungan atau pd kata dalam kalimat; 2 memasukkan ke dalam kurungan penjara dsb; 3 membiarkan ada di da... POLISI 1 badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum seperti menangkap orang yang melanggar undang-undang; 2 anggota dari badan... PERINTAH 1 perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; sesuatu yang harus dilakukan atas - sang pangeran, beberapa pelayan datang; atas -, dengan pe... Polisi Hindia Belanda Wilayah Yogyakarta, Tahun 1923 INDONESIA, JAKARTA – Setelah zaman kerajaan berlalu, Indonesia sempat dijajah dalam kurun waktu 3,5 abad oleh Belanda. Di masa itu, tugas polisi dipercayakan kepada warga pribumi. Namun, bukan untuk menjaga keamanan negara, mereka malah ditugaskan menjaga asset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Pasukan keamanan ini terbagi atas beberapa bentuk di antaranya Veld Politie Polisi Lapangan, Stands Politia Polisi Kota, Cultur Politie Polisi Pertanian dan Bestuur Politie Polisi Pamong Praja. Namun, saat itu warga pribumi cuma menjadi bagian dari anggota keamanan dan tak bisa menempati posisi tinggi seperti Hood Agent Bintara, Inspekteur van politie dan komisaris van Cuma diperkenankan menjadi mantra polisi, asisten wedana dan wedana polisi. Misalkan era pemerintahan Herman Willem Daendels, Tegal adalah pemasok beras untuk kawasan timur nusantara. Untuk mengamankan wilayah ini, Daendels membentuk kesatuan berkuda yang diberi nama Jayengsekar. Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Baca Juga Ketika Moehammad Jasin dan Korps Polisi Ikut Angkat Senjata dalam Pertempuran Surabaya Personil Jayesengkar diambil dari kalangan anak-anak elit pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka mendapat pelatihan militer maupun seragam khusus dan berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik kabupaten. Sementara di ibukota keresidenan provinsi, mereka di bawah kendali pejabat kulit putih. Jumlah prajuritnya berkisar dari 50-100 orang, tergantung luas wilayahnya. Gaji mereka dibayar dengan petak sawah di tempat mereka bertugas. Merujuk pada pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808, Djoko Marihandono mencatat bahwa sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak pasukan Jayengsekar. Sepeninggalan dia, Jayengsekar masih bertahan hingga 1874. Setelah Jayengsekar, muncullah polisi kolonial. Kesatuan ini dibentuk pada tahun 1897. Tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban, tapi kemudian meluas ke urusan politik hingga moral. Maka dibentuk pula unit khusus polisi susila untuk memberantas pelacuran, perdagangan perempuan dan homoseksualitas. Contohnya pada tahun 1930-an polisi menangkap orang-orang yang diduga homoseksual, tak peduli orang Eropa atau pejabat tinggi pemerintah yang melakukan hubungan seksual dengan anak lelaki di bawah umur di bawah 21 tahun. Warga Pribumi Diberi Jabatan pada Masa Penjajahan Jepang Saat Jepang menguasai Nusantara, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah yaitu Sumatera dan Jawa, masing-masing dibawah Angkatan Darat, Kalimantan dan Indonesia Timur di bawah Angkatan Laut. Jepang membentuk Pembela Tanah Air PETA di Jawa, Giyugun di Sumatera, terdapat pula Heiho yang diintegrasikan ke dalam pasukan Jepang. Pemuda-pemuda dihimpun dalam Seinendan dan Keibodan. Serta Fujinkai khusus untuk wanita. Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada satu bentuk kepolisian, yaitu Keisatsutai Polisi. Untuk wilayah Jawa dan Madura berpusat di Jakarta. Lalu Kepolisian Sumatera berpusat di Bukittinggi. Sementara Kepolisian Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin. Baca Juga Torehan Jasa Brimob untuk Indonesia Berbeda dengan zaman Belanda yang hanya mengizinkan jabatan tinggi diisi oleh orang-orang mereka, saat di bawah Jepang, kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia. Akan tetapi, meski menjadi pemimpin, orang pribumi masih didampingi pejabat Jepang yang pada praktiknya lebih memegang kuasa. Masa Awal Kemerdekaan, dari PRI Menuju Polri Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, polisi bentukan Jepang seperti PETA dan Gyu-Gun dibubarkan. 4 hari setelah Indonesia merdeka, para mantan kesatuan polisi bentukan Jepang mengambil sikap untuk siap berjuang mempertahankan kemerdekaan dan menamakan diri Polisi Republik Indonesia PRI. Selanjutnya, pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menetapkan dan melantik Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara KKN. Kala itu, kepolisian masih ada di bawah Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara untuk urusan administrasi. Akan tetapi pertanggungjawaban operasional dilakukan kepada Jaksa Agung. Setelah itu, PRI mulai terlibat dalam sejumlah pertempuran. Seperti menyerang dan merampas senjata-senjata Jepang hingga menghadapi pasukan Inggris dan Belanda di Tanjung Perak. Mereka juga terlibat dalam insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, sekaligus mendukung dan mempelopori pertempuran Surabaya. Namun, sejak terbitnya Perpres Nomor 11 Tahun 1946, kepolisian negara bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Sejak hingga hari ini, Polri telah merayakan Hari Bhayangkara yang ke-73. - Sejak PNI berdiri pada Juli 1927, nama Sukarno sebagai orator tiada terbendung. PNI membesar dan Sukarno kian giat beragitasi di mana-mana. Setelah Sarekat Islam dan Tjokroaminoto turun pamor, juga pemberontakan gagal PKI pada 1926, Sukarno adalah eksponen pergerakan nasional yang paling menonjol. Tapi pengaruh itu juga membawa konsekuensi. Rapat-rapat umum yang dihadiri Sukarno dan diawasi polisi menjadi pemandangan biasa pada saat itu. Tak hanya mengawasi, para polisi juga membuntuti Sukarno dan kawan-kawan ke mana pun mereka pergi. “Mereka mengintipku seperti memburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat sulit untuk lepas dari pengawasan mereka,” ungkap si Bung dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia 2007 99. Meski mulanya tak acuh, toh Sukarno sempat jengah juga. Tapi daripada bikin perhitungan langsung, Sukarno lebih suka mengerjai polisi-polisi yang membuntutinya. Suatu kali Sukarno dan kawan-kawan PNI-nya sepakat bertemu di sebuah rumah bordil. Tentu saja mereka bermaksud rapat organisasi di sana, bukan lain-lain. Bubar rapat, mereka pulang dengan cara berpencar. Memang benar rapat itu tak luput dari intipan polisi. Hanya saja mereka tak bisa lapor apa-apa karena tak bisa masuk rumah bordil sembarangan. Jadilah, esoknya Sukarno dipanggil menghadap Komisaris Besar Polisi Albrechts. “Sekarang dengarlah, Tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa Anda semalam ada di sebuah rumah pelacuran. Apakah Anda mengingkarinya?” tanya si komisaris dalam interogasinya. “Aku tidak dapat berdusta kepada Anda. Anda mengetahui aku, kukira,” jawab Sukarno enteng. “Untuk apa? Kenapa Anda pergi ke sana?” sergah Komisaris Albrechts. Di sini Sukarno merasa menang. Polisi memang tak berani asal masuk ke rumah bordil dan karenanya tak bisa memata-matainya. Sukarno lalu meneruskan keusilannya dengan mengaku ia ingin berkasih-kasihanan dengan seorang perempuan di sana. “Kami akan membuat laporan lengkap mengenai hal ini,” ancam Komisaris Albrechts. “Untuk siapa? Istriku?” kata Sukarno berlagak pilon. Komisaris Albrechts menjawab sekenanya, “Tidak, untuk pemerintah.” Sukarno tidak sendiri. Pada masa itu seorang aktivis pergerakan nasional dimata-matai polisi kolonial adalah sebuah kelaziman. Pengalaman serupa itu juga bisa didapati dalam memoar Hatta dan Tan Malaka. Dan lagi, mereka itu masih juga dihadapkan pada risiko penangkapan, sensor, pembubaran organisasi, hingga pengasingan. Demikianlah Hindia Belanda bekerja sebagai negara Polisi Hindia Belanda Penyebutan Hindia Belanda sebagai negara polisi agaknya sudah cukup jamak di kalangan sejarawan. Di antara yang menyebutnya demikian adalah Takashi Shiraishi dan Harry Poeze. Bahkan Gubernur Jenderal Idenburg pun menyebut demikian pula. Sementara itu sejarawan Henk Schulte Nordholt menyebut dengan istilah yang agak berlainan, meski medan maknanya mirip negara kekerasan. Lalu, apa itu negara polisi? Seturut Merriam-Webster Dictionary, negara polisi ditandai oleh kontrol pemerintahan represif terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang biasanya dilakukan dengan kekuasaan arbitrer polisi atau intelijen sesuai dengan prosedur hukum yang diketahui secara publik. Untuk konteks Hindia Belanda, Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda 2011 memberi pengertian sebagai, “negara yang secara berkelanjutan mereduksi persoalan yang muncul dari pergerakan bangkitnya nasionalisme atau kebangsaan di kalangan masyarakat menjadi sekadar masalah kepolisian” hlm. 317-318. Praktik yang paling banal dari pengertian itu adalah pembatasan terhadap kebebasan dan aktivitas politik warga dan pengawasan ketat terhadap gerak individu. Bahkan pengawasan macam ini dilakukan secara kebablasan oleh pemerintah Hindia Belanda. Polisi kolonial tak hanya menyasar eksponen politik, tapi juga setiap individu yang dianggap punya potensi ancaman. Simak misalnya cerita sejarawan Ong Hok Ham tentang akademikus kolonial asal Perancis bernama Bousquet dalam bunga rampai Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang 2003. Cendekiawan ini mengunjungi Hindia Belanda pada 1930. Sebagai pengamat, Bousquet sebelumnya punya kekaguman dan citra positif tentang Hindia Belanda. Namun begitu sampai di sana seluruh kekagumannya luntur. Ke mana-mana ia diawasi dan ceramah-ceramahnya diancam undang-undang subversi. Padahal ia adalah seorang konservatif yang cenderung setuju dengan kolonialisme dan ceramahnya pun tak berkaitan langsung dengan Hindia Belanda. Dalam penilaiannya, aparat Hindia Belanda terlalu banal dalam membelokkan hukum untuk mengamankan kepentingan pemerintah kolonial. Menurut Ong Hok Ham, kebijakan polisionil diterapkan karena memang cocok untuk Belanda. Tak seperti Inggris dan Perancis yang besar dan militernya kuat, Belanda adalah negara kecil. Keadaan itu membuat Belanda harus pintar-pintar mengatur daerah jajahannya dengan meminimalisasi penggunaan senjata. Eksekusi dan hukuman mati sebisa mungkin dihindari karena Belanda tak menginginkan adanya martir yang bisa membangkitkan perlawanan rakyat jajahan. “Oleh karena itu, politik Hindia-Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak mereka,” tulis Ong Hok Ham hlm. 173. Lain itu, Hindia Belanda dijuluki negara polisi bukan hanya karena pengawasan ketat atas warganya. Bloembergen menyebut setidaknya ada tiga lagi alasan kuat yang mencirikannya. Pertama, memukul rata semua persoalan politik sebagai gangguan ketertiban dan keamanan. Kedua, adanya lembaga kepolisian yang diberi wewenang turut campur dalam politik warga. Ketiga, kepolisian menjadi alat negara yang langsung dikendalikan pemerintahan pusat hlm. 319.Represi Dinas Intelijen Hindia Belanda tidak serta-merta jadi negara polisi sejak awal terbentuk. Bloembergen menandai itu baru terjadi pasca-Perang Dunia I. Saat perang berkecamuk di Eropa, Belanda mengambil sikap netral. Oleh sebab itu pemerintah Belanda merasa perlu memahami potensi-potensi yang bisa merusak netralitas tersebut, termasuk di negeri jajahannya. Di Hindia Belanda kebutuhan itu meluas. Pemerintah kolonial, saat itu dikepalai Gubernur Jenderal van Limburg Stirum, merasa perlu juga mengumpulkan segala informasi perihal pergerakan kaum nasionalis yang sedang mekar. Posokan informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat kebijakan terhadap para aktivis kemudian pada 1916 pemerintah kolonial membentuk Politieke Inlichtingen Dienst PID alias Dinas Intelijen Politik. Kantor dan agen-agen PID umumnya ditempatkan di kota-kota yang dianggap sarang oposan dan pergerakan politik radikal seperti Batavia, Bandung, Semarang, atau Surabaya. Ketika Perang Dunia I berakhir, PID ikut dibubarkan pada 1919. Namun pemerintah kolonial justru ketagihan memanfaatkan fungsi intelijen itu. Dan lagi pergerakan nasionalis yang kian berani juga menakutkan pemerintah. Maka, hanya berselang lima bulan dari pembubaran PID, pemerintah mendirikan lembaga baru bernama Algemene Recherche Dients ARD. Tugas dan kewenangan ARD tidak berbeda dengan PID. “ARD menjadi momok menakutkan bagi kaum pergerakan, yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik mereka ke mana pun. Kongres, rapat, maupun pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh tokoh pergerakan tidak luput dari pengawasan ARD,” tulis Allan Akbar dalam Memata-matai Kaum Pergerakan Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 2013 7. Infografik Negara Polisi Hindia Belanda ARD berkembang tak hanya jadi alat pengawasan, tapi juga alat menindak oposan yang “bandel”. ARD pun tak cuma mengumpulkan informasi dari agennya sendiri, tapi juga dari kepolisian umum. Agen-agen mereka hadir di rapat-rapat umum, mengawasi penerbitan kartu pers, menyensor media, merekomendasikan penangkapan dan pengasingan, hingga memata-matai tempat-tempat umum. Sikap pemerintah kolonial terhadap pergerakan nasionalis kian mengeras usai pemberontakan PKI 1926-1927. Pemerintah kolonial yang merasa kecolongan pun mengevaluasi dan memperkeras ARD. Kemitraan dengan dinas intelijen kolonial Inggris dan Perancis juga dibangun untuk memperkuat ARD. “Pemerintah tampaknya tidak lagi menenggang baik komunisme maupun gerakan-gerakan sosial-politik kemasyarakatan lainnya yang dianggap oleh polisi politik setara dengan itu. Ruang gerak pergerakan menjadi semakin sempit, sebaliknya ruang gerak polisi politik semakin luas,” tulis Bloembergen hlm. 332. Pengalaman Sukarno adalah salah satu contoh bagaimana polisi kolonial bekerja. Selain secara rahasia, mereka juga kerap hadir dalam rapat umum dan tak segan-segan memberhentikan pidato atau membubarkan rapat jika substansinya dianggap subversif. Tindakan macam itu bahkan tak berhenti walaupun si bandel sudah kena pentung pemerintah kolonial. Ketika Sukarno diasingkan ke Ende 1934-1938, ia tetap dibuntuti ke mana pun pergi. Dia pernah pula dituduh melakukan kejahatan besar hanya karena mengajarkan lagu "Indonesia Raya" kepada anak-anak kampung tempatnya diasingkan. Pemerintah kolonial sampai perlu menugaskan bangsawan setempat untuk menyelidiki perkara itu. Sukarno dianggap hendak merusak psikologi anak-anak di bawah umur. Meski kemudian hasil penyelidikan itu menunjukkan Sukarno tak bersalah, ia tetap kena hukum.“Aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda sebesar 5 rupiah, senilai dua dollar,” kenang Sukarno dalam autobiografinya hlm. 161. - Sosial Budaya Penulis Fadrik Aziz FirdausiEditor Ivan Aulia Ahsan Sejak zaman penjajahan Belanda di bumi Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, siapa sangka jika pemerintah kolonial telah memiliki satuan khusus yang saat itu disebut sebagai Veldpolitie atau polisi lapangan. Satuan tersebut dikerahkan untuk meredam kerusuhan yang terjadi di masyarakat pada saat itu. Dilansir dari 07/11/2016, polisi jenis ini hadir setelah 1918 yang saat itu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Belanda untuk mengatasi persoalan pelik di lapangan. Keberadaannya juga untuk membantu opas, polisi konvensional yang terkadang tak berdaya saat tengah terjadi amuk massa. Veldpolitie pun menjadi solusinya. Satuan yang menjadi jalan tengah untuk meredam kerusuhan di masyarakat Sudah bukan menjadi rahasia umum jika sebuah aksi kerusuhan kerap dilakukan oleh masyarakat pribumi untuk menentang pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan opas yang dikenal sebagai polisi konvensional dirasa kurang oleh masyarakat untuk meredam hal tersebut, seperti yang ditulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda 2009. Pasukan Veldpolitie di Malang, Jawa Timur, sekitar tahun 1930 [sumber gambar]Pemerintah kolonial sendiri tak gegabah menggunakan kekuatan militer pada saat itu. Karena tak ingin berkesan militeristik, veldpolitie atau Polisi Lapangan pun dibentuk sebagai jalan tengahnya. Dilansir dari 07/11/2016 satuan ini berseragam kepolisian, namun memiliki wibawa setara militer. Cocok untuk meredam aksi brutal di masyarakat. Ikut dikerahkan untuk menumpas pemberontakan Dalam perkembangannya, tugas veldpolitie tak hanya sebatas untuk menangani kerusuhan saja, tapi juga dilibatkan untuk menghadapi pemberontakan. Karena telah dilengkapi dengan senapan, satuan ini maju di garis depan untuk menghadapi para perusuh. Saat pecah pemberontakan PKI pada 1926, Polisi Lapangan dilibatkan untuk mengatasi mereka. Konvoi Veld-politie polisi lapangan di Purwokerto, 1923 [sumber gambar]Sayang, pasukan pemberontak ternyata lebih besar dan sangat kuat dari perkiraan. Alhasil, Polisi Lapangan harus dibantu oleh satuan militer KNIL untuk meredam aksi tersebut. Setelah pemberontakan PKI selesai dipadamkan pada 1927, satuan ini terus dimekarkan lagi oleh Departemen Dalam Negeri yang membawahi kepolisian, seperti yang dikutip dari 07/11/2016. Menjadi salah satu bagian dari sejarah perjalanan kepolisian di Indonesia Keberadaan veldpolitie atau Polisi Lapangan telah menjadi salah satu bagian dari sejarah perjalanan tentang kepolisian di Indonesia. Saat Indonesia dijajah oleh Jepang, pemerintah Dai Nippon juga membentuk satuan yang mirip dengan Polisi Lapangan, yakni Tokubetsu Keisatsu Tai Pasukan Polisi Istimewa pada April 1944. Ilustrasi kepolisan di zaman Belanda [sumber gambar]Sama seperti veldpolitie, satuan Pasukan Tokubetsu Keisatsu Tai juga selevel dengan militer karena dilengkapi dengan senjata dan bahkan kendaraan lapis baja. Saat pecah perang 10 November 1945 di Surabaya, satuan ini ikut ambil bagian dengan ikut berjuang melawan penjajah dengan dipimpin oleh Mohammad Jasin, yang kelak mendirikan pasukan Brigade Mobil Brimob. BACA JUGA Mengenang Moehammad Jasin, Sosok Bak Superman Di balik Sangarnya Korps Brimob di Indonesia Untuk menangani kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat di zaman dahulu, pemerintah kolonial Belanda rupa-rupanya memiliki strategi tersendiri untuk meredamnya. Tak langsung menggunakan militer maupun polisi biasa, tapi diselesaikan lewat satuan kepolisian yang memiliki wibawa selevel militer. Itulah Veldpolitie alias Polisi Lapangan.

korps polisi militer zaman hindia belanda